Mengoptimalkan the Ling 6-Sound Test setiap hari

Saya sering menemui keluhan para orang tua yang berada di daerah-daerah yang karena keterbatasannya tidak mendapatkan akses untuk free field hearing test (FFT) seperti tersedia pada pusat-pusat alat bantu dengar di kota-kota besar. Lalu seolah-olah pasrah karena tidak bisa melakukan evaluasi kemampuan mendengar buah hatinya. Padahal ada instrumen sederhana yang bisa digunakan yakni Ling 6-Sound Test.
Artikel ini diterjemahkan dari sebuah artikel yang dirilis pada tahun 2004 dan dimuat di www.audiologyonline.com dengan judul asli “Using the Ling 6-Sound Test Everyday”. Meskipun banyak diantara kita sudah mengenal Ling 6-Sound Test kadang-kadang karena sederhananya justru sering terabaikan. Mudah-mudahan bermanfaat.
***
Donna F. Smiley, Assistant Professor, University of Central Arkansas
Patti F. Martin, M.S., CCC-A, Director of Audiology and Speech-Language Pathology, Arkansas Children’s Hospital
Dee M. Lance, Ph.D., CCC-SLP, Assistant Professor, University of Central Arkansas
all-about-the-ling-six-sound-test
Pendahuluan
Nampaknya dalam dunia kita yang berteknologi tinggi, kebanyakan dari kita percaya bahwa kita harus menggunakan suatu peralatan dengan detail khusus untuk melakukan penilaian terhadap segala hal. Namun dalam upaya kita untuk terus mencapai suatu standar tertinggi, terbaik dan lebih kuat lagi, seringkali mengabaikan prosedur sederhana yang tepat.
The Ling Six Sound Test (Ling 1976, 1989) adalah salah satu prosedur itu, yang dalam pengalaman kami, seringkali terabaikan. Padahal salah satu keuntungan dari prosedur ini adalah dapat dilakukan oleh siapapun, baik audiologis, terapis wicara, pendidik dan orang tua. “The Ling Six Sound Test” sebenarnya sungguh dapat memberikan ketepatan (seumpama mur dan baut) dalam latihan berbicara dan mendengar, tanpa harus menggunakan instrumen khusus yang detail. Prosedur ini dapat diterapkan pada alat bantu dengar, implant koklea, atau bahkan tanpa amplikasi sama sekali (bagi mereka yang memiliki pendengaran normal-penj). Sungguh merupakan alat “low tech” terbaik yang tetap sangat berguna guna mendapatkan penilaian yang cepat dan akurat terhadap kemampuan komunikasi yang esensial bagi orang dewasa dan anak-anak.
Sejarah
Konsep yang melatarbelakangi Daniel Ling (menciptakan) The Ling Six Sound Test adalah dengan memilih suara percakapan familiar yang secara umum mewakili spektrum percakapan dari frekuensi 250-8000 Hz. Rentang spektrum ini merupakan rentang yang sama dengan rentang yang diuji dengan pengujian audiometry konvensional. Ling menggunakan bunyi bahasa terisolasi (isolated phonemes) yang mentargetkan suara dengan frekuensi rendah, sedang dan frekuensi tinggi.
Bunyi bahasa untuk Ling Six Sound Test adalah [m], [oo] dalam bahasa Indonesia dibaca seperti /uu/, [ee] dalam bahasa Indonesia dibaca seperti /ii/, [ah], [sh] dan [s] dalam bahasa Indonesia dibaca seperti desis /sss/.
****Tambahan (sumber www.cochlear.com):
[m] mewakili suara frekuensi sangat rendah dan jika anak anda tidak dapat mendengarkan suara ini, umumnya tidak akan mendapatkan informasi frekuensi rendah yang cukup guna mengembangkan kemampuan berbicara dengan nada (tune) yang normal dan tanpa kesalahan vokal. [oo] dalam bahasa Indonesia dibaca seperti /uu/, memiliki informasi frekuensi rendah, [ee] dalam bahasa Indonesia dibaca seperti /ii/, memiliki sebagian informasi frekuensi rendah dan sebagian frekuensi tinggi, [ah], berada di tengah rentang frekuensi percakapan, [sh], berada di tengah ke tinggi (moderate) frekuensi percakapan, dan [s] dalam bahasa Indonesia dibaca seperti desis /sss/, berada pada rentang frekuensi sangat tinggi.
*****
Terdapat beberapa cara untuk menggunakan test ini untuk mengukur fungsi kemampuan mendengar. Kami akan menjelaskan review singkat hierarkhi kemampuan auditori yang akan sangat membantu anda dalam menggunakan the Ling Six Sound Test untuk mendapat manfaat optimal.
Erber (1982) mendeskripsikan 4 level hierarkhi skill auditori dalam merespon suara: deteksi, diskriminasi, identifikasi dan komprehensi/pemahaman (detection, discrimination, identification and comprehension). Sebagai tambahan, beberapa topik yang sama telah diulas dalam literatur psychoacoustics (Small, 1973).
Deteksi adalah kemampuan dasar dalam mendengar (Tye-Murray, 1998). Deteksi ditunjukkan dengan adanya perhatian/kesadaran/aware terhadap ada atau tidak adanya suara. Kemampuan ini merupakan level dasar dari persepsi suara. Skill deteksi adalah yang digambarkan pada test evaluasi audilogi komprehensif. Pengujian nada murni dicapai dengan bertanya kepada subjek respon terhadap suara ketika ia mendengarnya. Respon evaluasi audiologi dapat ditunjukkan dengan beragam bentuk. Balita dan anak kecil mungkin merespon dengan menengok ke arah datangnya suara. Anak usia pra sekolah mungkin merespon dengan tugas-tugas dalam permainan (play task) misalnya dengan melempar balok ke dalam ember ketika ia mendengar suara. Mengangkat tangan dan mengatakan “ya” ketika mendengar suara sebagaimana biasa dilakukan oleh subjek yang dewasa, adalah bentuk-bentuk deteksi suara.
Diskriminasi adalah kemampuan untuk menyampaikan apakah dua stimulasi suara sama atau berbeda. Dalam banyak cara untuk menguji kemampuan diskriminasi, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengidentifikasi perbedaan antara dua suara, yang dapat dirasakan oleh subjek pendengar. Untuk dapat melakukan diskriminasi antara dua suara yang berbeda, pendengar harus terlebih dahulu dapat mendeteksi kedua suara itu. Dengan demikian, diskriminasi merupakan tugas yang lebih tinggi dibandingkan dengan deteksi.
Tugas identifikasi, termasuk di dalamnya adalah dapat memberi label atau nama bagi suara yang didengarnya. Tugas indentifikasi membutuhkan kemampuan pada pendengar untuk mendeteksi dan mendiskriminasikan suatu stimulus dan selanjutnya secara unik mengidentifikasikannya. Identifikasi adalah level tugas yang lebih tinggi lagi, dibandingkan dengan deteksi dan/atau diskriminasi.
Komprehensif adalah skill auditori yang lebih kompleks lagi, karena membutuhkan kemampuan bagi pendengar untuk mendeteksi, mendiskriminasi, mengidentifikasi dan memahami makna suara atau pesan yang ingin disampaikan. Komprehensi adalah kemampuan tertinggi dari 4 level skill auditori dan menjembatani persepsi pendengaran dengan kemampuan kognitif dan/atau bahasa.
The Ling Six Sound Test sangat berguna untuk mengukur kemampuan deteksi, diskriminasi dan identifikasi, namun bukan merupakan test untuk menilai kemampuan komprehensi.
Aplikasi
Saat menggunakan the Ling Six Sound Test, penguji/terapis mulai pada tingkat yang dikuasai oleh klien, dan bekerja menuju tingkat yang lebih tinggi. Sebagai contoh, jika seorang anak dengan gangguan pendengaran dapat mengulangi suara (tingkat identifikasi) di the Ling Six Sound Test, penguji seharusnya fokus mengarah pada isu identifikasi dan komprehensi. Menguji skill pada tingkat yang lebih rendah seperti deteksi atau diskriminasi tidak layak lagi dilakukan, disaat anak sudah menguasai kedua skill prasyarat tersebut sebelum mencapai tahap identifikasi.
The Ling Six Sound Test dapat digunakan dalam cara yang sama seperti test respon nada murni untuk mereka yang skill audiologinya masih berada di tingkat deteksi (Yoshinaga – Itano , 2000). Test dilakukan dengan menyajikan suara dan subjek merespon kehadiran suara. Dapat terjadi respons beragam seperti yang dibahas sebelumnya mengenai evaluasi audiologis.
Sebagai contoh, jika anda sedang bekerja dengan anak umur 3 tahun yang masih berada pada tahap deteksi dalam pengembangan kemampuan mendengar, anda dapat menggunakan the Ling Six Sound Test untuk mendapatkan secara cepat informasi seputar apa yang dia dengar dan respon saat menggunakan alat bantu dengar dibandingkan tidak menggunakan. Sebuah bentuk tugas sambil bermain, seperti melemparkan mainan balok ke dalam ember/keranjang saat dia mendengar suara, dapat dijadikan model respon. Perlu ditegaskan, sebatas maksud hanya untuk deteksi, anak tersebut tidak perlu paham perbedaan di antara berbagai suara, sebagaimana juga tidak diperlukan baginya untuk mengulangi suara yang didengarnya.
Jika ia dapat merespon tahapan deteksi, dengan enam suara dalam test, maka penguji tahu bahwa subjek telah mendengar suara di seluruh rentang spektrum percakapan. Jika subjek tidak menanggapi satu atau lebih dari suara dalam test, itu artinya anda mendapatkan informasi potensial seputar area frekuensi yang perlu ditargetkan untuk melatih pendengarannya. Sebagai catatan, jika respon yang diperoleh menunjukkan ketajaman pendengaran yang berbeda dari yang sebelumnya diperoleh (baik lebih baik maupun lebih buruk-penj), evaluasi audiologi mungkin diperlukan kembali. Oleh karena itu, meskipun the Ling Six Sound Test bukan merupakan evaluasi audiometri diagnostik, test ini dalam keadaan yang sesuai, adalah alat yang dapat membantu memberikan informasi analog/sepadan atau mirip dengan pengujian ambang batas (ASSR/BERA).
Kemampuan diskriminasi, level skill yang kedua di dalam hierarkhi, dapat juga diukur dengan the Ling Six Sound Test. Penguji/terapis dapat menampilkan dua suara yang berbeda pada test Ling-6 dan menanyakan pada subjek dengan gangguan pendengaran untuk mengidentifikasi kedua suara tersebut, sama atau berbeda (bisa digunakan kartu yang menggambarkan suara-suara dalam test ling-6, misalnya: pesawat untuk [ah] dan ular untuk [s] –penj). Jika individu masih berada pada fase awal pengembangan kemampuan diskriminasi, suara yang sangat berbeda dapat digunakan, sebagai contoh: [ah] dan [s].
Di sisi lain, saat subjek sudah menunjukkan kemajuan dalam pengembangan skill diskriminasi, suara yang mirip dapat digunakan untuk membangun kemampuan diskriminasi, sebagai contoh: [sh] dan [s].
Skill identifikasi mengharapkan individu dengan gangguan pendengaran dapat mengatakan, atau dalam bentuk lain menunjukkan, suara yang mereka dengar. Jika terapis mengatakan [s], maka diharapkan subjek dengan gangguan pendengaran akan dapat mengulangi suara/imitasi.
Perlu dicatat, kesalahan dalam mengulangi suara/imitasi dapat memberikan banyak informasi yang berguna untuk terapis. Jika seseorang tidak dapat mengimitasi suara dengan input pendengaran saja, maka terapis bisa menambahkan input visual. Setelah subjek yang bersangkutan mampu mengulangi suara dengan masukan visual dan pendengaran, isyarat visual bisa berangsur dihilangkan.
Aplikasi lain dari ujian tahap identifikasi menggunakan Ling 6 test adalah terkait dengan durasi. Tujuan dari uji ini adalah harapan subjek dengan gangguan pendengaran dapat melakukan imitasi suara dengan jeda waktu yang semakin pendek (Leach, 2003). Paling mendekati kemampuan ini adalah bagaimana subjek dapat mendengar suara dalam speech yang menyambung (tanpa jeda). Namun, jika subjek dengan gangguan pendengaran perlu jeda presentasi lebih lama untuk mendengar dan mengulangi suara sasaran, penguji tahu suara apa yang harus ditargetkan untuk dilatih. Tentu saja, hal ini juga mungkin bahwa sistem amplifikasi (alat bantu dengar, FM, dll) perlu disesuaikan.
Kegunaan lainnya lagi dari Ling 6 test dapat diterapkan untuk melatih mengatasi masalah signal-to–noise (tingkat kebisingan) dan figure-ground relationship (gema latar belakang). Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan Ling 6 test dengan kenyaringan percakapan normal, dan pada jarak mendengarkan yang nyaman, mungkin 3 atau 4 kaki (sekitar 1 s.d. 1.5 meter). Kemudian, sambil mempertahankan kenyaringan vokal yang sama, secara bertahap meningkatkan jarak antara speaker dan pendengar. Hal ini akan membantu untuk meningkatkan “distance listening skills” (kemampuan mendengar dalam jarak) sebagai indikator kemampuan utama mengurangi dominasi (dan menyesuaikan diri terhadap) level kebisingan dan gema latar belakang secara bertahap.
The Ling Six Sound Test juga dapat berguna sebagai identifikasi awal adanya gangguan di telinga tengah (Laughton & Hasenstab, 2000). Sebagai contoh, Tyler adalah anak 4 tahun dengan kehilangan pendengaran sensorineural sedang. Dia menggunakan alat bantu dengar kira-kira dalam jangka waktu 2 tahun. Setiap awal sessi terapi wicara, terapis wicaranya telah mengecek kualitas output alat bantu dengarnya dengan stetosklip. Ia juga melakukan Ling Six Sound Test untuk mengecek skill pendengaran Tyler. Pada awalnya Tyler telah dapat mengulangi keseluruhan suara pada Ling 6 sebagai tugas tingkat pertama identifikasi.
Suatu hari ia mengalami kesulitan mengulangi beberapa suara. Segera, terapisnya waspada terhadap fakta bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan Tyler. Dia tahu alat bantu dengarnya bekerja karena dia telah mengeceknya sendiri. Terapis wicara berbicara dengan ibu Tyler, mencatat inkonsistensi tersebut dan merekomendasikan evaluasi lebih lanjut. Dokter THT Tyler selanjutnya mengkonfirmasi adanya infeksi telinga.
Pengamatan serupa bisa juga berlaku untuk penggunaan cetakan earmold baru, alat bantu dengar baru, alat bantu dengar yang baru difitting ulang, baterai mati, malfungsi dan kerusakan pada implan koklea, dan masalah-masalah lain (termasuk misalnya infeksi cmv yang berlanjut-penj).
Kesimpulan:
Kebanyakan terapis familiar dengan the Ling Six Sound Test. The Ling Six Sound Test adalah “teknologi” yang sederhana, mudah dipelajari, namun memiliki beragam aplikasi yang berguna. Sayangnya, test Ling 6 seringkali dimanfaatkan terbatas hanya pada menguji skill deteksi. The Ling Six Sound Test dapat menyediakan verifikasi kemampuan mendengar secara cepat, dapat digunakan sebagai acuan kesinambungan dan dasar untuk menyiapkan program pelatihan dan pengembangan skill mendengar lebih lanjut, dapat berfungsi sebagai panduan untuk menetapkan tujuan pelatihan pendengaran, dan dapat berfungsi sebagai “bendera merah” untuk masalah yang berhubungan dengan pendengaran, gangguan pendengaran dan sistem amplifikasi.
References:
Erber, N. (1982). Auditory training. Washington, DC: Alexander Graham Bell Association for the Deaf.
Laughton, J., & Hasenstab, S.M. (2000). Auditory learning assessment, and intervention with school-age students who are deaf or hard-of-hearing. In Alpiner, J.G., & McCarthy, P.A. (Eds.), Rehabilitative audiology: Children and adults (pp. 178-225). Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.
Leach, M. (2003, October). Tips from the toy box. Paper presented the annual meeting of the Arkansas Speech-Language-Hearing Association, Hot Springs, Arkansas.
Ling, D. (1976). Speech and the hearing-impaired child: Theory and practice. Washington, DC: Alexander Graham Bell Association for the Deaf.
Ling, D. (1989). Foundations of spoken language for the hearing-impaired child. Washington, DC: Alexander Graham Bell Association for the Deaf.
Small, A. M. (1973). Psychoacoustics. in Minifie, F.D., Hixon, T.J. and Williams, F. (Eds.), Normal Aspects of Speech, Hearing, and Language (pp. 347). Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.
Tye-Murray, N. (1998). Foundations of aural rehabilitation. San Diego, CA: Singular Publishing Group.
Yoshinaga-Itano, C. (2000). Assessment and intervention with preschool children who are deaf and hard-of-hearing. In Alpiner, J.G., & McCarthy, P.A. (Eds.), Rehabilitative audiology: Children and adults (pp. 140-177). Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins.
Sumber:
*Terima kasih, Pak*